Mengkritik Praktik Publikasi Jurnal Ilmiah yang Keterlaluan

Kadang, pendidikan adalah ladang berbisnis yang lezat dan nikmat bagi sebagian orang.

Penelitian ilmiah dilakukan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, memperbaiki praktik, dan pertimbangan dalam sebuah kebijakan1.

Maka dari itu penelitian harus didasarkan pada metode, desain, prosedur dan praktik yang benar. Jika tidak, konsekuensinya adalah rusaknya ilmu pengetahuan, praktik, dan kebijakan.

Sayangnya, binar memukau dari tingginya title, pangkat, dan jabatan, mendistorsi kualitas penelitian. Pada beberapa kasus, penelitian tidak lagi untuk untuk pengetahuan, tidak lagi untuk perbaikan, tidak lagi untuk kemaslahatan, namun untuk kepentingan pragmatis pribadi seorang peneliti.

Saat ini, penelitian dieksploitasi menjadi sebuah komoditas menguntungkan dalam pendidikan. Ada uang di balik penelitian, ada jabatan di balik penelitian, ada gelar di balik penelitian. Semuanya menutup fungsi ideal dari suatu penelitian yang seharusnya.

Penelitian yang Penting Terbit

Sebagian besar kampus menerapkan persyaratan publikasi artikel di jurnal Ilmiah pada jenjang S2. Ada yang minimal Sinta 4, minimal Sinta 2, atau terindeks Scopus. Ya intinya ada tuntutan untuk menerbitkan artikel ilmiah di samping tuntutan penelitian Tesis.

Sehingga, pasti ada banyak mahasiswa S2 yang tertekan dengan syarat semacam itu. Sebab, publikasi ilmiah itu seharusnya sulit karena menerapkan double-blind review yang ketat.

Saya merasa ada pihak jurnal yang memanfaatkan situasi ini…

Satu sisi mahasiswa butuh publikasi jurnal sebagai syarat lulus, di sisi lain ada banyak jurnal yang sulit sekali ditembus karena ketatnya penilaian dan review. Maka, muncul pihak-pihak jurnal yang memudahkan proses review, sehingga jurnal tersebut menerima banyak sekali artikel dari mahasiswa.

Ketika banyak artikel masuk dalam jurnal, maka banyak pula publication fee yang didapatkan oleh jurnal tersebut. Win-win solution! Mahasiswa terbantu karena syarat lulus terpenuhi, jurnal senang karena banyak artikel yang masuk, sehingga banyak juga publication fee yang didapatkan. Iya nggak sih?

Mari Kita Hitung

Saya sangat paham bahwa menjalankan jurnal itu butuh dana operasional, sangat paham. Banyak akomodasi yang perlu dibayar, mulai dari layanan indexing, print jurnal versi cetak, proof-reading, formatting, dan lain-lain. Ada standar operasional yang membutuhkan biaya.

Namun…

Kami yakin biaya tersebut tidak sampai harus membuat pihak jurnal tidak peduli dengan etika publikasi ilmiah dan menerima semua artikel yang masuk begitu saja agar dapat publication fee.

Baca tentang etika publikasi di halaman COPE: https://publicationethics.org/

Coba kita takar, semisal jurnal terbit dua bulanan. Sekali terbit ada 10 artikel. Satu artikel, nilai publication fee-nya adalah Rp1.250.000. Maka per dua bulan pihak jurnal dapat Rp12.500.000. Nilai yang kami rasa cukup untuk menutup operasional jurnal.

Coba kita bayangkan jurnal tersebut terbit per bulan, maka pihak jurnal dapat Rp25.000.000 per dua bulan. Lumayan ya…

Nah, ada kasus dimana jurnal memiliki publication fee-nya sebesar Rp1.500.000, terbit per bulan, sekali terbit ada 150-200 artikel. Wow!!!

Coba kita ambil nilai tertinggi (200 artikel per bulan), maka pihak jurnal dapat 200 x Rp1.500.000 = Rp300.000.000 (tiga ratus juta) dalam satu bulan. Artinya, satu milyar lebih dalam 4 bulan, dan dapat 3 milyar lebih dalam satu tahun. Fantastis bukan!

Kalau nggak percaya, coba hitung sendiri!

Jualan Indexing

“Minimal Sinta 2, minimal terindeks Scopus” ~ Bunyi peraturan publikasi syarat lulus.

Niat hati persyaratan tersebut ada agar publikasi mahasiswa semakin objektif dan berkualitas, namun malah menjadi bahan jualan beberapa pihak jurnal tertentu.

Adanya fenomena pihak jurnal yang berbisnis (saya berasumsi dan yakin), membuat saya tersadar bahwa indexing bukan menjadi indikator mutlak kualitas jurnal. Kecilnya nilai indeks Sinta dari suatu jurnal tidak menjamin kualitasnya.

Saya mungkin masih terima kalau pihak jurnal menerbitkan 200 artikel per bulan dengan menerapkan prosedur publikasi ilmiah yang benar. Lha ini peer-review nggak jelas, nggak ada double-blind review, dan nggak esensial hasil review-nya.

Seharusnya, jika berani menerbitkan ratusan artikel dalam satu terbitan, sebuah jurnal harus sudah lulus persyaratan etika publikasi.

Untuk Pihak Sinta Indonesia

Sinta

Saya merekomendasikan kepada pihak Sinta untuk memperketat seleksi untuk memposisikan grade indexing sebuah jurnal. Saya sebagai orang awam dalam dunia penelitian sudah kadung merasa ada kong-kalikong antara pihak jurnal dan pihak Sinta.

Ya karena sudah terlalu lama dibiarkan melakukan praktik spam publikasi.

Ya masa jurnal yang sangat terlihat mencolok berbisnis tetap saja dibiarkan. Ya memang sih memudahkan mahasiswa memenuhi persyaratan lulus, namun sepertinya sudah sangat keterlaluan.

Membuat citra jurnal ilmiah menjadi rusak dan terkesan nggak ada ilmiah-ilmiahnya sama sekali. Harusnya praktik semacam ini harus diseriusi, karena jika tidak Indexing Sinta juga akan kami ragukan kebenarannya.

Referensi

  1. Creswell, J. W. (2016). Riset Pendidikan: Perencanaan, Pelaksanaan, dan Evaluasi Riset Kualitataif & Kuantitatif (4th ed.). Pustaka Belajar. ↩︎
Reaksi Anda?
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
Bagikan:
HUDA
HUDA

Sekarang mahasiswa, besok nggak tahu, masih nganggur, kadang suka nulis, kadang suka tidur, ya gitu aja sih. Motto hidup, "Jangan kebanyakan ber-motto"😅

Articles: 17

One comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *