Dasar Teori Hasil ChatGPT dan AI ~ #2 SeriesKPP

Di era VUCA (volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity), apapun bisa terjadi, apalagi hanya otomatisasi teknologi. Di luar bahasan tumpang tindihnya konsep atau teori VUCATaskan, B., Junça-Silva, A. and Caetano, A. (2022), “Clarifying the conceptual map of VUCA: a systematic review”, International Journal of Organizational Analysis, Vol. 30 No. 7, pp. 196-217. https://doi.org/10.1108/IJOA-02-2022-3136, kami yakin Anda semua pasti mengalaminya saat ini ganjang-ganjingnya zaman. “Ada aja yang terjadi, kadang di luar nurul!”

Ini adalah #seriesKPP ke-dua yang membaas tentang generate text AI dan ChatGPT dalam perspektif pembuatan karya ilmiah. Mari kita diskusikan!

Dulu kita harus daftar beasiswa secara langsung ke tempat, sekarang tinggal lengkapi berkas, buka laptop, apply online, gampang! Dulu kita harus melamar kerja secara offline, sekarang ada platformnya sendiri, bisa diakses lewat internet. Dulu kita sekolah di kelas, sekarang sudah bisa online pakai Zoom, Gmeet, Google Classroom, Moodle, dan lain-lain.

Cepat, efektif, dan efisien adalah kunci perkembangan teknologi. Apapun bisa saja dilibas demi tiga kunci tersebut.

Latar Belakang Kesalahan

  1. Generate dasar teori pakai ChatGPT dan tools AI tanpa memikirkan masa depan kredibilitas penelitian dan karya ilmiah
  2. Karya instan yang dibuat oleh mesin dan komputer, bukan buah pikir otak manusia asli—artinya tulisan palsu
  3. Menjadikan AI sebagai alternatif cara menulis karya, meskipun hal ini jelas-jelas menyalahi aturan yang ada
  4. Hasil penelitian dari dasar teori buatan ChatGPT yang dianggap benar
  5. Memaklumi penggunaan generate text lewat ChatGPT dan atau AI sebagai alternatif cara yang boleh dilakukan dalam dunia akademik

Keresahan Masa Depan Penelitian

Dalam konteks penelitian, dulu kita mungkin membuat karya dengan mesin tik tua. Sekarang, kita sudah bisa pakai laptop, berbantuan word, tidak perlu risau kalau ada salah ketik, tinggal delete saja beres!

Awalnya, teknologi tercipta agar manusia terbantu, dimudahkan, dan diringankan pekerjaannya.

Sayangnya, perkembangan teknologi semakin hari semakin bablas. Teknologi yang awalnya membantu pekerjaan bertransformasi menjadi pembantu kelicikan otak manusia. Setelah teknologi copy paste memaksa setiap karya ilmiah harus dicek plagiasinya, sekarang hadir AI, ChatGPT, dan saudara-saudarinya. “Makin ribet lagi administrasi orisinalitasnya.”

Pada dasarnya, yang kami masalahkan hanya ChatGPT, tapi banyak sekali tools generate text yang tren saat ini—mulai dari Bard AI, Bing AI, Perplexity AI, Chatsonic, dan lain-lain. Semua dapat membantu kita membuat tulisan dengan mudah, cepat, tanpa harus mikir. Bahkan bisa mencantumkan referensi secara benar dan bisa kelihatan ilmiah banget.

Kami rasa, mau tidak mau tampaknya iThenticate yang dapat checking hasil tulisan AI akan segera digunakan secara masif dalam dunia pendidikan dan penelitian. Jika hasilnya akurat, tentu tidak akan jadi masalah. Namun jika tulisan manusia juga dideteksi sebagai tulisan generate AI, maka peneliti-peneliti yang sungguhan (peneliti yang serius) akan terganggu juga.

Awal AI dan ChatGPT Detektor Diberlakukan…

Ada cerita singkat…

Ada seorang mahasiswa, kuliah nggak niat, tapi ingin lulus dan dapat gelar. Setelah dipaksa oleh sana-sini, akhirnya dia terpaksa copy-paste dan paraphrase tulisan dalam skripsinya. Prinsipnya, “Yang penting jadi!”

Tentu, pihak universitas tidak akan tinggal diam melihat fenomena tersebut. Dalam perspektif akademik, plagiarisme adalah pelanggaran yang serius—khususnya dalam konteks penelitian. Akhirnya, syarat cek Turnitin diberlakukan.

Cerita itu akan sama terjadi dalam konteks AI dan ChatGPT. Mahasiswa malas nggak niat penelitian, tapi dipaksa buat karya, akhirnya pakai generate text AI. Dasar teori di-generate, terus format dirapikan, sesuaikan daftar pustaka, jadi deh!

Kami yakin, syarat cek AI atau ChatGPT pun akan segera diberlakukan di dunia pendidikan dan peenlitian.  

Sayangnya, berbeda dengan cek plagiasi, tulisan AI itu lebih rumit struktur generate-nya. Belum banyak alat canggih (apalagi yang multi-bahasa) yang dapat mendeteksi secara akurat 100% bahwa satu tulisan adalah tulisan AI dan satu tulisan lain adalah tulisan manusia asli.

Hal ini tentu merugikan bagi peneliti yang serius (yang bener-bener meneliti). Peneliti yang serius pasti menulis karya dari nol, huruf per huruf, kata per kata, kalimat per kalimat, paragraph per paragraph. Tapi nggak tahu ternyata saat dideteksi pakai tools AI atau ChatGPT detector persentasenya tinggi, padahal dia nulis sendiri dari awal.

Ini tentu sangat meresahkan!

Kasarnya, “Masa gara-gara peneliti abal-abal, peneliti yang serius pun juga kena imbasnya. Masa gara-gara anak ingusan belajar penelitian, banyak peneliti yang beneran kena dampaknya?”

Titik Kesalahan dan Kesadaran

Kami akui, ChatGPT memang bermanfaat, ada banyak dampak positifnyaMontenegro-Rueda, M., Fernández-Cerero, J., Fernández-Batanero, J. M., & López-Meneses, E. (2023). Impact of the implementation of CHATGPT in education: A systematic review. Computers, 12(8), 153. https://doi.org/10.3390/computers12080153) dan tentu juga ada resikonyaSok, Sarin and Heng, Kimkong, ChatGPT for Education and Research: A Review of Benefits and Risks (March 6, 2023). Available at SSRN: https://ssrn.com/abstract=4378735 or http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.4378735.. ChatGPT bahkan digunakan peneliti untuk menganalisis data—kuantitatif maupun kualitatif. Bahkan, sumber tulisan ChatGPT pun dapat dijadikan kajian penelitian komprasi yang menarik.

“Lantas, kesalahannya dimana?”

Mari kita diskusikan…

Kelahiran ide dan buah pikir dari otak dan akal manusia adalah kunci dari perkembangan peradaban. Pengembangan, implementasi, dan implikasi dari ide lahir dari penelitian.

ChatGPT dan tools AI berpotensi menggantikan otak dan akal manusia. Artinya, saat itu pondasi itu dirobohkan, maka perkembangan peradaban pun akan roboh. Kami mungkin masih sepakat jika AI diposisikan sebagai alat pemicu ide dan pembantu implementasi ide, sangat sepakat. Tapi kalau AI diposisikan sebagai penggagas ide, maka disitulah letak kekalahan manusia terhadap teknologi.

Kebijakan pemerintah yang baik harus dilakukan dengan pondasi ilmiah yang kuat (kajian dan penelitian yang sistematis). Ketika hasil penelitian yang dipakai ternyata di-generate oleh ChatGPT, apa kabar kualitas kebijakan yang akan diberlakukan?

Kita juga harus paham, penelitian dilakukan dengan tujuan untuk menambah pengetahuan, memperbaiki praktik, dan menginformasikan perdebatan kebijakanCreswell, J. W. (2016). Riset Pendidikan: Perencanaan, Pelaksanaan, dan Evaluasi Riset Kualitataif & Kuantitatif (4th ed.). Pustaka Pelajar.. Jika dasar teorinya saja tidak orisinal, dibuat pakai ChatGPT dan AI, maka bagaimana kita dapat mencapai tujuan tersebut?

Dari sini mungkin ada yang tidak setuju dan ngomong seperti ini, “Kan ya nggak papa, wong juga nanti diparafrase, nanti ditulis ulang…”, “Kenapa nggak, kan ChatGPT hadir untuk membantu manusia…”

Apapun alasannya, kami akan tetap teguh pendirian bahwa penggunaan genetate text ChatGPT atau ChatAI lainnya adalah kaharaman mutlak dalam proses pengerjaan karya ilmiah.

“ChatGPT dan AI kan Membantu?”

Kezaliman akan terus berlanjut, bukan karena banyaknya orang-orang jahat. Tapi karena diamnya orang-orang baik” (Ali bin Abi Thalib R.A.)

Kami ingatkan dengan kutipan dari sahabat Ali di atas. Memakai ChatGPT untuk membuat karya ilmiah itu adalah tindakan zalim. Zalim kepada peneliti yang serius, zalim kepada pembaca, dan zalim pada orang yang berhubungan dengan variabel penelitian.

Dengan begitu, kami rasa menjadikan ungkapan “kan membantu…”. “kan bisa mempercepat mahasiswa lulus…’ sebagai alasan untuk membolehkan ChatGPT untuk meng-generate karya adalah kesalahan besar. Dosen dan peneliti profesional harus berani untuk ngomong dan speak-up bahwa yang salah ya salah, yang benar ya benar.

Peneliti pendidikan yang masih pemula seperti kami, harusnya sadar diri juga sih untuk belajar serius bukan malah mencari jalan pintas nan picik agar tidak terjerumus. Birokrasi universitas juga harusnya mempertimbangkan standar penelitian agar tidak terlalu tinggi untuk mahasiswa S1.

Mahasiswa S1 harusnya diposisikan sebagai subjek yang sedang belajar meneliti, bukan sudah bisa meneliti. Mereka harus diajarkan etika dan kebenaran terlebih dahulu dalam suatu penelitian sebelum dimotivasi untuk mencari pembaharuan (novelty).

Memaklumi mahasiswa menggunakan generate ChatGPT atau AI saat mengerjakan skripsi atau tesis adalah dosa besar.

Beda urusan jika menggunakan AI untuk keperluan teknis yang membantu pengerjaan karya seperti tools menyimpulkan artikel, tools translate, dan sejenisnya, mungkin boleh-boleh saja. Asal tidak bertentangan dengan prinsip orisinalitas karya dan tidak keluar dari esensi sebuah karya, maka boleh-boleh saja.

Dasar Teori itu Penting

Dasar teori dibuat bukan agar skripsi atau karya ilmiah terlihat tebal, tapi agar peneliti bisa memberikan pondasi pokok terhadap apa yang dia teliti dan menjadikan justifikasi bahwa peneliti memang benar-benar paham terhadap apa yang sedang diteliti.

Kajian yang mendalam dari dasar teori bisa menjadi kunci dari lahirkan ide-ide baru. Karena pada dasarnya, penelitian adalah tentang mencari hubungan dari suatu yang kita ketahui. Maka dari itu, mengkaji teori dan mencari berbagai korelasinya sangat penting dilakukan.

Referensi:

Reaksi Anda?
+1
1
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
Bagikan:
HUDA
HUDA

Sekarang mahasiswa, besok nggak tahu, masih nganggur, kadang suka nulis, kadang suka tidur, ya gitu aja sih. Motto hidup, "Jangan kebanyakan ber-motto"😅

Articles: 17

One comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *