SPSS dan Software Bajakan di Universitas: Fakta dan Solusi
Penggunaan software bajakan adalah praktik yang ‘sangat lazim’ dilakukan di zaman ini. Saya yakin, Anda pernah dikit-dikit mendengar istilah patch, crack, atau keygen untuk membajak software (aktivasi software biar full version)—meski Anda nggak peduli dengan bahaya software bajakan. Pertanyaannya, apakah software bajakan beneran bahaya?
Seharusnya sih bahaya. Wong sudah sangat jelas nggak legal. Kalau ada apa-apa, nggak ada yang bisa tanggung jawab kecuali diri Anda sendiri kan? Secara etika, penggunaan software bajakan sama dengan pencurian hak cipta. Iya nggak sih?
SPSS: Software Bajakan yang Lazim Digunakan di Universitas
Saya akui, saya dulu termasuk orang yang paham bagaimana cara download, install, dan membajak software, termasuk SPSS dan produk alat statistik buatan IBM lain seperti AMOS.
Namun saat ini saya masih berusaha idealis mengumpulkan uang untuk membeli SPSS dan sementara ini pakai aplikasi statistik yang open-source untuk analisis data (seperti R-Studio atau JASP).
Meskipun banyak pro dan kontra, penggunaan alat statistik bajakan adalah hal yang diwajarkan dalam dunia kampus.
Tentu bukan tanpa alasan…
SPSS yang original itu mahal! Langanannya bisa puluhan juta per tahun per satu device! Harga paling murah mulai 1,6 juta per bulan (untuk fitur paling minim). Namun, akan jauh lebih murah bila kita beli lewat vendor SPSS seperti studentdiscouint.com atau onthehub.com. Per bulan bisa sampai 600 ribu sampai 1,5 juta per 6 bulan.
Ya emang lebih murah sih beli lewat vendor, tapi tetap aja mahal! Apalagi untuk mahasiswa Indonesia yang bertipikal ‘sangat hemat’. Saya rasa, hampir mustahil bagi seorang mahasiswa (apalagi masih sarjana) dengan sengaja berlangganan SPSS original. Wkwkw…
Di samping mahal, di sisi lain ada SPSS yang free (yang bajakan maksudnya).
Kita bisa bayangkan nih logikanya:
SPSS yang ori itu mahal, eh ada yang gratisan. Kenapa nggak pake yang gratisan aja? Justru aneh banget kan, kalau tetep milih yang berbayar ketika ada yang gratisan. Iya nggak sih?
Itulah sebabnya kenapa SPSS bajakan lazim digunakan di dunia akademik.
Bukan lagi soal pelanggaran hak cipta atau etika, apalagi soal lisensinya. Ini adalah soal kebutuhan, solusi di depan mata, dan aspek efektivitas serta efisiensi penggunaannya.
Ini ibaratnya, “tutup ketemu botol”. SPSS mahal, solusinya ya SPSS bajakan!
Apakah Software Bajakan Berbahaya
Iya jelas. Bukan bahaya dituntut developernya (meskipun ini mungkin saja bisa terjadi). Tapi bahaya adanya serangan virus atau malware. Software bajakan itu sudah diotak-atik sama si pembajak. Kita kan nggak tahu pas ngotak-ngatik itu diisi apa sama si pembajak.
“Tapi kok laptop saya nggak papa pas di-install SPSS bajakan?”
~ kata banyak mahasiswa
Nah, bersyukurlah! Itu kebetulan Anda dapat software illegal hasil pembajak yang baik.
Bak Alexandra Elbakyan dan Sci-Hub, saya rasa ada pembajak yang menjadi Robin Hood di tengah kebutuhan akademik mahasiswa dan peneliti di dunia terhadap SPSS.
Meski demikian, kita nggak tahu software bajakan mana yang mengandung virus dan malware. Maka dari itu, tetap aja beresiko. Beberapa resiko dan bahaya lainnya dari software bajakan adalah:
- Tidak bisa update ke versi terbaru, sehingga rentan terhadap virus
- Kinerja tidak maksimal (seperti adanya crash, bug atau error)
- Ancaman pencurian data pribadi pada perangkat yang diinstall
- Mengancam kinerja perangkat karena ada file dalam software yang bermasalah
Intinya, menggunakan software bajakan = setuju untuk tanggung jawab sendiri ketika terjadi masalah-masalah di atas. Kasarnya ngomong, “Tanggung sendiri ya resikonya kalau terjadi apa-apa.”
Jika bagi Anda beberapa hal di atas bukan hal yang bahaya, ya berarti software bajakan nggak bahaya—terlepas dari masalah etika, lisensi, dan pelanggaran hak cipta.
Lantas, Bagaimana Solusinya?
Kalau software bajakan untuk kepentingan pribadi, solusinya adalah: (1) cari alternatif software sejenis yang open-source, kelemahannya adalah terbatas fiturnya—tidak sekaya fitur software berbayar; atau (2) beli lewat vendor atau lisensi OEM agar software original lebih murah harganya.
Khusus untuk software yang dibutuhkan kampus (seperti SPSS dan alat statistik lain), izinkan kami mengusulkan tiga solusi. Mungkin solusi ini sudah diterapkan di kampus-kampus tertentu.
- Pertama, kampus menerbitkan aturan penggunaan software legal. Dilarang menggunakan SPSS atau software bajakan lain. Diarahkan menggunakan JASP, R-Studio, atau Chat GPT yang free dan open-source. Tutorial analisis data dengan Chat GPT akan kami berikan kapan-kapan.
- Kedua, universitas menyediakan software original. Universitas membeli beberapa paket dan diinstal pada komputer umum di kampus; semua mahasiswa dan dosen dapat menggunakan software tersebut secara bergantian (dengan jadwal yang diatur). Namun, hal ini kurang efisien.
- Ketiga, bagian akademik universitas mengusulkan proyek besar untuk membuat aplikasi statistik kampus untuk uji-uji statistik yang paling populer—seperti normalitas, homogenitas, uji t, uji anova, manova, regresi, analisis faktor, dan lain-lain. Hal ini sepertinya sudah dilakukan oleh Universitas Padjajaran lewat program UNPAD-SAS mereka
Tiga solusi yang saya tawarkan di atas mungkin sedikit sulit direalisasikan. Namun mau bagaimana lagi?
Kita tahu semua universitas punya tanggungan moral dan etika penelitian. Saya yakin, semua kampus pasti melawan yang namanya pelanggaran hak cipta dan pembajakan lisensi.
Di sisi lain, civitas akademika yang justru malah sering melanggar hak cipta dan membajak lisensi software, bahkan tanpa mereka sadari.
Sangat disayangkan sekali bukan? Kita telah berada pada situasi dimana mahasiswa dan dosen merasa nyaman, adem ayem dan langgeng bahagia memakai software illegal tanpa rasa berdosa?
“Yuk, mari kita tobat menggunakan software bajakan!”
[…] tulisan sebelumnya, postingan ini adalah satu solusi cara “legal” melakukan analisis data. Kali ini, kami […]